Pertukaran informasi politik saat ini disebarluaskan di media sosial, melalui platform tersebut juga kita dapat berpolitik dengan cara melalukan voting online atau menyuarakan aspirasi dalam berbagai media. Secara tidak langsung, Twitter, Facebook, dan Youtube juga telah mengubah cara kampanye dan cara berinteraksi antara para pejabat dengan rakyatnya.
Berpolitik melalui media sosial telah membuat para pejabat lebih bertanggung jawab terhadap penghitungan dan lebih memberikan kemudahan akses untuk rakyat dalam melakukan pemilihan atau pelayanan publik. Kecepatan media sosial dalam menciptakan konten dan menyebarluaskannya pada jutaan orang secara instan “memaksa” kampanye untuk dilakukan penuh kehati-hatian. Foto-foto kandidat dapat tersebar luas pada saat itu juga dan hampir tanpa mengeluarkan biaya.
Berikut 10 cara Twitter, Facebook dan Youtube telah mengubah politik:
1. Terhubung Langsung dengan Pemilih
Media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Youtube memberikan peluang para politisi untuk berbicara langsung kepada pemilih secara gratis! Penggunaan media sosial memungkinkan politisi untuk menghindari metode lama dengan menggunakan iklan berbayar atau menunggu media yang meliputnya menerbitkan. Politisi bisa hemat!
2. Beriklan Tanpa Membayar
Rahasia umum telah tersebar, kampanye politik kini juga dapat menjelma sebagai “iklan” para politisi dan iklan pun dapat dipublikasikan gratis di Youtube. Tidak hanya dengan Youtube, jika dirasa kurang maksimal para politisi dapat membayar “iklan” mereka hanya dengan waktu yang dimiliki. Kunjungan ke stasiun televisi atau radio dapat membantu mereka dalam menyampaikan pesan secara massal.
Para jurnalis pun seringkali ikut menyebarluaskan “iklan” di Youtube para politisi, sebab iklan tersebut menjadi pemberitaan yang bernilai untuk masyarakat luas. Dan, jurnalis memangkas pembiayaan yang harusnya dibayarkan untuk politisi ketika diwawancarai. Lagi-lagi bisa hemat!
3. Menjadi Viral dari Share dan Retweet
Twitter dan Facebook telah menjadi alat dalam mengornanisir kampanye. Media tersebut memungkinkan para pemilih dan aktivis yang berpikiran sama dengan mudah saling membagikan berita dan informasi, seperti acara kampanye. Inilah fungsi “share” pada Facebook dan “retweet” pada Twitter.
Donald Trump sangat sering menggunakan Twitter pada kampanyenya di 2016. “I like it because I can get also my point of view out there, and my point of view is very important to a lot of people that are looking at me.” ujar Trump.
4. Beda Audiens, Beda Pesan
Kampanye dapat memanfaatkan banyak informasi atau analitik mengenai followers para politisi di media sosial. Pesan yang ingin disampaikan dapat disesuaikan berdasarkan demografi para followers. Ketika sebuah kampanye dapat menemukan satu pesan yang sesuai untuk pemilih dibawah usia 30 tahun, maka kampanye tersebut tidak akan efektif dengan usia diatas 40 tahun.
5. Penggalangan Dana (Fundraising)
Beberapa kampanye telah menggunakan “money bombs”, metode ini berfungsi untuk mengumpulkan uang dalam jumlah besar di waktu yang singkat. Money Bombs, biasanya memiliki periode sekitar 24 jam untuk mengumpulkan dana yang berasal dari para pendukung untuk pemenangan. Fundraising dilakukan dengan menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi, namun seringkali Money Bombs yang terkumpul terkait dengan hal kontroversi yang muncul selama kampanye. Libertarian, Ron Paul, mencalonkan diri sebagai presiden Amerika tahun 2008. Pada pencalonannya sebagai presiden ia dinilai sukses dalam mengatur beberapa kampanye fundraising yang paling sukses.
6. Kontroversi
Terhubung langsung dengan masyarakat juga membuat para politisi berisiko dalam menuai kontroversi. Para humas dan tim profesional seringkali mengelola citra para kandidat, sebab mengizinkan politisi untuk mengirimkan tweet atau status di Facebook tanpa filter dapat memungkinkan politisi terlibat dalam situasi yang tidak menguntungkan. Peristiwa tersebut terjadi pada kasus Anthony Weiner yang terungkap melakukan seks online.
7. Umpan Balik (Feedback)
Feedback yang diperoleh dari masyarakat (para pemilih) atau konstitusi dapat menjadi dua mata pisau, hal ini sangat bergantung terhadap tanggapan politisi. Banyak kampanye yang mempekerjakan staf untuk memantau media sosial dari tanggapan negatif, dan menyingkirkan kabar berita atau hal apapun yang tidak menarik.
Aktivitas kampanye seperti ini tampak begitu defensif dan tertutup dari masyarakat, sementara kampanye modern yang lebih menyukai keterlibatan publik terlepas dari tanggapan negatif atau positif para politisi.
8. Mempertimbangkan Opini Publik
Politisi dan gerakan kampanye tidak akan berdampak, apabila sebelumnya tidak ada perkiraan mengenai dampak pernyataan atau dampak kebijakan politisi yang akan menyelami lingkaran para voters.
Media sosial akan memungkinkan politisi mengukur tanggapan publik terhadap suatu masalah atau hal kontroversi. Politisi dapat menyesuaikan kampanye secara real time tanpa menggunakan konsultan atau polling yang memakan biaya.
9. It’s Hip!
Efektivitas media sosial juga dinilai karena lebih melibatkan anak muda. Pada pemilihan presiden di Amerika, hanya golongan berusia lebih tua yang cenderung tergabung ke dalam pemilih yang akan melaksanakan pemilihan ke tempat pemungutan suara.
Presiden Barack Obama merupakan politisi pertama yang memanfaatkan media sosial selama dua kampanye suksesnya, karena pemanfaatan Twitter dan Facebook oleh Obama memberikan energi positif untuk pemilih muda dan hal ini berdampak besar dalam pemilihan.
10. Kekuatan Massa
Media sosial memberikan kemudahan untuk menggabungkan khalayak dalam mengajukan petisi untuk pemerintah dan pejabat terpilih. Tidak hanya itu, pemanfaatan jumlah massa yang terhubung pada media sosial juga menekan peluang KKN. Aktivitas lobbying dan ketertarikan terhadap korupsi masih menjadi budaya favorit, tetapi kemampuan media sosial memberikan kekuatan untuk menyatukan pikiran masyarakat dan sebagai dorongan dalam memperoleh politik yang sehat.