6 Tips “Curhat Sehat” di Media Sosial

curhat2Di artikel sebelumnya sudah dibahas tentang beberapa risiko yang bisa muncul akibat curhat di media sosial. Mulai dari dituntut oleh pihak yang ngga terima, sampai terlibat pertengkaran, sampai ke nama baik yang bisa tercemar di masa mendatang karena curhat di media sosial bersifat “abadi”.

Kini kita akan bahas tentang bagaimana sih curhat yang aman di media sosial. Di antara banyak manfaat media sosial, menjadi ajang curhat adalah salah satunya. Dengan curhat di Facebook, Twitter, atau Path, rasanya lega karena ada orang yang mendengar curhatan kita. Siapa tahu juga dapat advis dari teman di sana.

Cuma ya itu tadi, ada efek negatifnya. Ini dia beberapa tips yang perlu diperhatikan agar curhatan di media sosial tidak menjadi masalah di kemudian hari:

  1. Jangan bahas hal yang terlalu personal

Curhat soal pacar? Ortu galak, dosen nyebelin, atau bos killer? Boleh, sih. Cuma perlu diingat batasan mana hal yang sudah sangat personal banget dan mana yang masih pantas diumbar ke umum. Ingat, media sosial itu ranah publik. Curhat soal orang-orang terdekat masih layak, selama belum membahas hal yang sangat pribadi, misalnya hubungan pribadi kalian yang hanya perlu diketahui kalian berdua. Untuk kasus curhat sama pacar, misalnya masalah hubungan fisik tak perlu diumbar ke publik. Curhat soal bos, hindari menyebut soal gaji, detil fisiknya, atau hal-hal yang menyangkut urusan internal pekerjaan. Curhat cukup mengumbar hal-hal umum, tanpa perlu detilnya diketahui publik, rasanya masih bisa diterima.

  1. Hindari menyebut nama dan profil lengkapnya

Bagaimana jika sudah terlanjur curhat hal yang terlalu pribadi? Oops! Sebaiknya hindari menyebut nama orang yang kita jadikan obyek curhatan. Misalnya kamu sedang sebel sama Dina, tak perlu menyebut namanya. Cukup mengeluhkan saja kelakuannya, tanpa harus detil. Itu pun rasanya sudah lumayan lega, lho. Kalau sampai menyebut namanya, apalagi mention akunnya, dan menyebut profilnya, wah bisa jadi panjang masalahnya. Dina bisa ngga terima, dan kamu bisa terlibat pertengkaran dengannya.

  1. Kendalikan emosi

Curhat memang curahan hati, yang berarti penuh emosi. Oke aja sih pakai emosi full, selama bukan untuk konsumsi publik. Di media sosial yang sudah ranah publik, sebaiknya emosi dikendalikan. Sebelum curhat di media sosial, coba curhat dulu ke orang terpercaya, atau coret-coret dulu di buku harian. Setelah emosi terlampiaskan, baru boleh curhat di media sosial, itu pun kalau dirasa masih perlu. Dengan begitu curhatanmu masih bisa terkendali, ngga full kata makian.

  1. Curhat yang sehat

Ada saatnya kita butuh curhat tentang layanan publik yang kurang oke, misalnya sebagai pelanggan dikecewakan operator tertentu. Kita bisa mention langsung media sosial operator tersebut, lalu curhat soal keluhan kita. “Kok sinyalnya putus-putus?” atau “Kenapa pulsa berkurang tanpa alasan?”. Biasanya akan direspon di mana operator meminta data lengkap pelanggan. Sampaikan keluhan dengan wajar, tanpa disertai makian atau kata-kata kasar. Dengan begitu problem akan diselesaikan secara baik-baik.

  1. Bisa menyebut inisial

Ada kasus tertentu di mana curhat soal layanan publik tidak perlu menyebut nama pihak yang bersangkutan secara langsung. Contohnya untuk kasus yang sensitif seperti layanan suatu rumah sakit, bisa menyebut inisial nama rumah sakit tersebut. Hal ini dilakukan demi menghindari tuduhan “pencemaran nama baik”. Nama-nama dokter atau pihak yang berhubungan langsung dengan profesi juga dapat diganti dalam bentuk inisial. Selain inisial, bisa cukup dengan menyebut “Sebuah rumah sakit swasta di daerah anu..” dan sejenisnya.

  1. Jangan malu minta maaf

Saat curhat, kita sering lepas kendali. Menulis makian, sumpah serapah, membuka aib orang lain di media sosial. Semua dilakukan akibat emosi. Setelah reda, penyesalan pun muncul. Tak perlu malu untuk minta maaf ke pihak yang pernah kita serang dalam curhatan kita di media sosial. “Maaf ya, aku kemarin emosi banget.” Dengan kalimat itu saja rasanya bisa lebih lega, terlepas pihak itu mau memberi maaf atau tidak. Dan yang terpenting, jangan diulangi lagi.

Sumber gambar: majalahpearl1.blogspot.com

 

 

Published by Merry Magdalena

Penulis lebih dari 20 buku non fiksi terbitan Gramedia Group, eks jurnalis, kolumnis, editor, menyukai media sosial, serta segala yang berhubungan dengan seni & budaya. Berkicau di @merrymp. Bio lengkap: https://www.linkedin.com/in/merrymagdalena