Semua serba digital, teknologi merajalela untuk semua kalangan tanpa terkecuali, sekalipun kalangan anak-anak. Banyak yang berubah karena keberadaan teknologi, sekaligus mempermudah, seperti misalnya cara orang dalam berkomunikasi. Kini, kita semua mengenal cara berkomunikasi atau cara bersosialisasi menggunakan media sosial, kita dapat menjangkau begitu banyak receiver (penerima pesan) dalam satu waktu singkat, di wilayah yang sangat luas, bahkan sedunia.
Namun, tak jarang teknologi juga menjadi bumerang bagi para penggunanya. Terlebih, jika mereka bablas dan tak dapat mengontrolnya, melainkan dikontrol.
Di kalangan anak-anak hingga remaja, dalam media sosial, sudah marak sekali permainan roleplayer atau RP. Dirangkum dari artikel Pop Mama, roleplayer merupakan istilah untuk memainkan suatu peran menjadi idola atau tokoh terkenal melalui media sosial. Misalnya, ketika anak-anak menyukai penyanyi baru, kemudian ia memainkan peran untuk menjadi penyanyi baru tersebut, dan seolah memperkenalkan idolanya kepada followers-nya di media sosial.

Pada dasarnya pemain RP mempromosikan idola yang mereka perankan, sebab mereka memiliki “tugas-tugas” yang harus dilakukan saat bermain roleplayer, di antaranya seperti membuat akun lain selain akun pribadi, menjelaskan kegiatan apa saja yang dijalankan idolanya, turut memasang data diri tentang tokoh tersebut, mengenal karakter dan sifat idola yang diperankan, dan tidak diperkenankan untuk memasukkan data pribadi mereka ke dalam akun RP miliknya.
Berperan seolah-olah ia adalah Sang Idola, para pemain RP juga turut melakukan Fantalk (mengobrol dengan “fans” yang mengindolakan peran yang sedang mereka perankan) dan Fanservice (misalnya, seperti mengirimkan foto Sang Idola dengan foto pose hati). Intinya, pemain RP akan melakukan hal-hal yang menyenangkan para fans dari tokoh yang sedang ia perankan.

Namun, dunia roleplayer kian meresahkan, karena kerap melakukan hal-hal yang tidak biasanya (bahkan tidak seharusnya) dilakukan oleh anak-anak. Pemain RP yang kebanyakan tak saling mengenal satu sama lain ini, kerap merasakan candu berlebih, hingga permainan ini berkembang dan “permainan peran” berlanjut kepada penambahan “hubungan”, yang mengakibatkan mereka nyaris melupakan dunia nyata, karena menambahkan peran anak, saudara, mama, papa, istri, suami, atau siapa pun yang persis seperti hubungan-hubungan di dunia nyata.
Tak jarang, para pemain RP yang kebanyakan masih duduk di bangku SD dan SMP ini juga kerap menebar berita bohong, melakukan penipuan dengan modus meminjam uang, hingga melakukan hubungan seks secara virtual (melalui chat sex atau saling mengirimkan gambar telanjang).
Dilansir dari Tagar.id, Psikolog Tika Bisono menyebutkan bahwa fenomena RP ini merupakan fenomena yang sangat berbahaya. Bagi Tika, orang tua harus berperan ekstra, tidak hanya aktif tapi proaktif dalam mendampingi dan mendidik anak-anak mereka demi mencegah kebiasaan tersebut makin berkembang. Tika juga menjabarkan, bahaya tingkat tinggi mengintai masa depan anak-anak korban fenomena RP tersebut.
“Usia 15 sampai 18 tahun merupakan fase dimana orangtua dan pendidik, harusnya wajib secara bertanggung jawab dan pedagogis mengajarkan perihal ilmu keagamaan, biologi, fisiologi, seksualitas dan reproduksi secara utuh dan sangat serius,” ujar Tika Bisono dikutip dari Tagar.id, Selasa (4/12).
“Sehingga mereka bisa mengenal, memahami, menjaga, melindungi dan utamanya menghargai tubuh mereka. Mereka harus bisa menyadari bahwa perspektif seksualitas mempunyai nilai yang tinggi sebagai kehormatan bagi pemiliknya, bukan malah diperlakukan secara tidak hormat oleh seseorang, bahkan oleh dirinya sendiri,” lanjut Tika.
Tentang akil balig anak-anak menuju remaja, Tika juga menyebutkan bahwa hasrat seksual yang meningkat saat remaja tidak akan bisa dikurung, namun harus bisa dikelola. Ia juga mengkhawatirkan perilaku seksual yang terjadi pada anak-anak tersebut akan menjadi kebiasaan dan adiksi saat mereka mendewasa kelak.
“Mereka bisa saja jadi online prostitute atau memiliki sifat ekshibisionistis yang digunakan untuk mencari uang dengan memanfaatkan tubuhnya,” ujar Tika.

Candu dalam dunia roleplayer menyebabkan beberapa dampak negatif untuk para pemainnya, terutama mereka yang masih berusia anak-anak dan remaja. Berikut dampak negatif yang harus dihindari dari permainan roleplayer:
1. Lupa Real Life (Dunia Nyata)
Kebanyakan dari pemain terlalu asyik dengan peran yang mereka jalani di dunia maya, terlebih relasi mereka terhadap sesama pemain, yang bisa saja menjadi ayah, ibu, pasangan, atau apa saja yang mereka sepakati. Akhirnya, mereka bisa menghabiskan waktu yang panjang untuk bermain roleplayer sepanjang hari.
2. Banyak Anak-Anak Terlibat dan Rentan Jadi Sasaran Pedofilia
Permainan roleplayer tidak terbatas secara usia, terlebih mereka pun juga tak diperbolehkan memberitahu identitas aslinya. Namun, hal ini menyebabkan konten yang tersebar di dalamnya dapat diakses siapapun, termasuk anak-anak di bawah umur. Tak jarang, konten yang seharusnya tak dipertontonkan untuk anak-anak pun jadi tak tersaring, hingga mereka terpengaruh untuk melakukan hal di luar batas, dan menjadi sasaran pedofilia.
3. Karakter RP Menjatuhkan Karakter Sang Idola
Banyak dari pemain RP yang memerankan tokoh tanpa menyesuaikan karakter tokoh tersebut dan membuat kegaduhan, yang mengakibatkan tokoh tersebut dicap jelek oleh para penggemar dan pemain roleplayer lainnya, hingga akhirnya tak jarang banyak hatespeech dan berita hoaks yang juga menyebar dalam dunia RP.
4. Menutup Diri
Anak-anak hingga remaja yang memerankan perannya terlalu dalam sangat mungkin untuk menutup diri, karena lebih menyukai dunia online dibandingkan dunia nyata. Secara psikologis, mereka lebih menyukai perannya di dunia maya, dan menjadi tertutup karena tak ingin berinteraksi dalam dunia nyata.
5. Krisis Identitas
Banyak pemain RP yang kebanyakan berusia anak-anak ataupun remaja, kebanyakan berada dalam masa transisi, seperti masa puber. Masa transisi seperti ini lah yang menyebabkan kemungkinan timbulnya krisis identitas. Terlebih, dalam dunia RP tersebut, para pemainnya bisa memiliki beberapa identitas, yang mana juga mempengaruhi cara mereka berpikir dan merasakan sesuatu.
Pemain RP bisa terjebak dalam krisis identitas, terkait permasalahan sekolah, ketertarikan seksual, persoalan keluarga, keyakinan, dan lain-lain.
Perkembangan internet yang semakin kompleks memiliki banyak celah, yang tak hanya memudahkan karena kemajuan teknologi itu, melainkan juga celah hadirnya aktivitas virtual yang berbahaya, terutama bagi pengguna internet yang usianya masih anak-anak (di bawah umur).
Pada akhirnya, orang tua lah yang berperan penting, karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam perkembangan dan pertumbuhan anak-anak, agar tidak terjebak di dalam lingkungan yang salah. Sekalipun lingkungan dalam dunia maya.
Sampai bertemu di artikel berikutnya!