PoliTwika selalu menghadirkan selebtwit yang beragam. Dari mereka yang tidak mau diakui sebagai selebtwit sampai mereka yang sebenarnya memiliki visi berbeda dengan selebtwit lainnya. Salah satunya adalah sosok yang akan kami bahas sekarang. Mungkin ada yang menyukai dirinya dan ada yang membenci dirinya. Aktivis, pembuat film dokumenter dan traveller adalah sebutan-sebutan yang melekat pada dirinya.
Namanya Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono), sosok yang aktif menyuarakan kaum-kaum tertindas di Twitter melalui banyak media. Salah satunya adalah film dokumenter Gerakan Samin – Pegunungan Kendeng. Kami berkesempatan untuk mewawancarai beliau melalui email. Pertanyaan-pertanyaan seputar tentang media sosial tentunya.
Menurut Dandhy Laksono, media sosial bagaikan dua sisi belati, memiliki dampak baik dan buruk. Dampak baiknya bisa mengimbangi informasi yang selama ini dikuasai oleh media. Dampak buruknya adalah warga lebih mudah diprovokasi dengan isu-isu pelintiran beberapa orang. Sedangkan manfaat media sosial bagi mas Dandhy tentunya berkaitan tentang publikasi hasil proyek-proyeknya.
“Untuk pelaku industri kreatif kecil menengah seperti saya, media sosial sangat membantu untuk product and brand awarness. Tapi mostly saya menggunakan media sosial untuk membantu social campaign. Karena bagaimana pun, ini social media, bukan capital media. Meski creatornya kini sudah menanggung capital yang besar dari obrolan sosial global.”
Kami telah menyinggung tentang sosok Dandhy yang menyuarakan kaum-kaum tertindas melalui akun Twitternya. Satu hal yang melatari dia melakukan hal tersebut karena banyak hal yang tidak bisa disalurkan melalui videografi.
“Minat utama saya adalah videografi. Tapi banyak hal yang tidak bisa diakomodasi melalui videografi. Twitter, meski terbatas dan cenderung dangkal, menawarkan kepraktisan dan kecepatan diseminasi.”
Dandhy Laksono juga menyadari bahwa Twitter memiliki kecenderungan membahas isu populer. Tetapi banyak isu yang tidak populer dan harus disuarakan di Twitter seperti isu-isu sengketa agraria, perburuhan, masyarakat adat, lingkungan hidup, pelanggaran hak asasi manusia dan lain-lain.
Salah satu pengalaman unik Dandhy yang didapatkan dari media sosial adalah ketika dia berdebat dengan Arya Sinulingga di Twitter. Debat itu sampai harus dilanjutkan ke offline. Kalian bisa mengakses debat antara Dandhy Laksono dengan pemimpin redaksi RCTI di Debat Terbuka “Kebebasan Pers di News Room” Dandhy Laksono vs Arya Sinulingga. Followers juga memberikan pengalaman berbeda bagi Dandhy. Seperti orang-orang yang me-retweet twit-twit Dandhy tentang kasus Century, berubah ketika Dandhy tidak mendukung calon presiden yang terlibat dalam kasus penculikan.
Terakhir dalam sesi wawancara, kami menanyakan tentang kritik/saran terhadap masyarakat Indonesia di media sosial. Kami mendapatkan jawaban yang sangat menarik. Dandhy mengatakan bahwa ini adalah sebuah proses yang sedang dilewati oleh orang atau komunias di dunia. Bahwa kita sering “kebobolan” dalam penyaringan berita dan menyebarkan berita bohong dan bodong tersebut. Tapi Dandhy percaya bahwa ini adalah proses yang alami untuk menuju sebuah kedewasaan.
“Sejauh ini, saya masih percaya ini adalah proses alami yang sedang menuju kedewasaan. Sebab, kita tidak ingin orang lain, terutama Negara, yang menyaringkannya untuk kita.”