Ngetwit, ngepath, dan Fesbukan bisa bikin orang dipenjara? Sekilas terdengar lebay, memang. Tapi itulah yang sudah terjadi.
Awal tahun 2014, pemilik akun @Benhan, Benny Handoko, sempat meringkuk di LP Cipinang akibat postingannya di Twitter yang menuduh politisi Muhammad Misbakhun sebagai perampok. Benny terbukti melanggar Pasal 27 Ayat 3 jo Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Tak lama, dunia media sosial diegerkan dengan ditahannya Florence Sihombing yang dianggap melecehkan warga Yogya. Flo yang mahasiswa S2 UGM tersebut dijerat pasal serupa UU ITE karena makiannya di Path. Yang paling hot adalah kasus ditangkapnya M. Asryad, seorang tukang sate, akibat statusnya di Facebook yang dianggap menghina Presiden Joko Widodo.
Ada juga yang masih dalam tahap pengaduan ke polisi, yaitu seorang ibu rumah tangga asal Yogyakarta yang diperkarakan akibat curhat di Facebook. Tak ketinggalan kasus seorang siswa SMA yang dikeluarkan sekolahnya karena menulis status Facebook yang dianggap menghina guru.
Dari contoh kasus-kasus di atas, jelas terlihat bahwa kasus tuduhan penghinaan di media sosial tidak pandang status sosial dan tingkat pendidikan. Mulai dari karyawan, tukang sate, mahsiswa kampus ternama, ibu rumah tangga, dan pelajar, bisa terjerat kasus di media sosial. Dari data yang dihimpun PoliTwika, setidaknya ada 528 kasus pengaduan ke polisi terkait dengan penulisan status di media sosial.
Mengapa itu bisa terjadi?
Internet, termasuk di dalamnya aplikasi media sosial, hadir dan populer di Indonesia secara instan. Mayoritas user Internet alias netizen Indonesia belajar internet secara instan, cukup dengan sekilas pengetahuan teknis, tanpa dibekali edukasi tentang risiko, dampak, serta aturan main bergaul di internet.
Demikian juga yang terjadi di media sosial. User Facebook dan Twitter Indonesia memang menempati urutan tinggi dari sisi jumlah pengguna. Tapi bagaimana dengan kemampuan literasinya? Pemahaman tentang etika bergaul di dunia maya? Bagaimana dengan pengetahukan tentang dampak negatif, risiko dari apa yang kita posting di media sosial?
Mayoritas netizen awam Indonesia mengira, apa yang mereka posting di internet akan hilang seiring waktu. Bahkan masih banyak yang menduga, identitas mereka tidak akan bisa dilacak, sehingga merasa bebas-bebas saja memosting apa saja di media sosial, tanpa peduli akibatnya.
Mereka tak tahu, atau lupa, bahwa bergaul di media sosial pun ada etikanya. Banyak yang tak sadar, dunia maya sudah nyaris sama dengan dunia nyata, di mana interaksi dengan orang lain jua butuh “aturan main” atau rambu-rambu, bukan semau sendiri. Pasalnya, etika memang tak bisa diberlakukan secara memaksa, beda dengan hukum. Karena etika tak dihiraukan, maka dbuatlah aturan hukum.
Gagap beretika di media sosial, berisiko mendekam di bui. Wow, sebahaya itu kah? Kasus-kasus di atas tadi sudah menjawabnya.
Seperti apa etika di media sosial? Apakah sulit untuk mengimplementasikannya? Tidak juga. Apa saja etika itu, bisa dilihat di artikelĀ 10 Etika Media Sosial Demi Hindari Bui.
***
Sumber foto: caseofcybercrime.blogspot.com