@rahung : Dari Tattoo, Urusan Lidah dan Persoalan Dunia

@rahung, diilustrasikan dari doc ACMI
@rahung, diilustrasikan dari doc ACMI

Apa sih yang muncul di benak kalian jika melihat orang bertato? Hingga saat ini stigma mengenai tato di Indonesia masih miring alias negatif meski sudah tak terhitung banyaknya anak muda dan selebriti yang memilih untuk merajah tubuhnya. Nah, omong-omong soal tato, Pojok Selebtwit kali ini juga akan membahas salah satu orang bertato yang terkenal di Twitter loh. Rahung Nasution atau @rahung yang seringkali meyebut dirinya sebagai koki gadungan, adalah seorang pecinta kuliner lokal dan juga pecinta tato tradisional. Ia mencintai tato sejak usia 16 tahun dan tidak pernah membayangkan jika harus menghapus seluruh tato di tubuhnya. Baginya tato itu adalah keputusan bulat tidak boleh ada kata menyesal dan ia juga seringkali meminta orang-orang yang ingin membuat tato untuk berpikir 100 kali jangan hanya karena emosi sesaat. Rahung memberikan tiga nama tattoo artist favoritnya, ada Durga, Sono Bagong dan Ade Itameda yang apik pada teknik pointilisnya, ketiganya disukai Rahung selain karena teman adalah karena karya mereka cocok dengan selera estetikanya.

Rahung juga sangat aktif di media sosial, ia pada awalnya aktif di Friendster, lalu beralih ke Facebook dan sejak 2009 mulai bergabung di Twitter. Ketertarikannya akan media sosial pada umumnya sama seperti orang-orang lain, karena kebutuhan akan informasi dan juga interaksi dengan pengguna lainnya. Dalam wawancara via surat elektronik minggu lalu, Rahung mengaku dampak positif yang ia dapatkan dari menggunakan media sosial adalah secara cepat ia bisa update berbagai peristiwa dan isu yang berkembang, dan secara spontan juga ikut terlibat di dalamnya. Sedangkan dampak negatifnya, karena terlalu banyaknya isu yang disodorkan belum lagi satu isu tuntas dibicarakan sudah ada isu yang baru. Celakanya, seringkali isu serius lainnya keburu basi dan menguap.

“Keunikan di media sosial itu, seringkali kita menemukan beragam pengguna dengan karakter masing-masing yang mungkin di kehidupan sosial jarang sekali kita temui,” ungkap Rahung.

“Kemudian secara spontan, orang-orang ini membentuk gerombolan masing-masing berdasarkan ketertarikan, seringkali menjadi sebuah “gerakan” positif untuk merespon suatu isu.” lanjutnya.

Bagi Rahung serangan virtual di media sosial adalah persoalan biasa, jika serangannya bermutu bisa diajak untuk adu argumen dengan sehat kalau tidak ya cuekin saja, celotehnya.

Balik lagi ke persoalan kuliner, Rahung menceritakan sudah sejak kecil ia memasak di rumahnya, pada saat itu adalah sebuah keharusan yang kemudian menjadi kebiasaan.

“Bagi saya, memasak adalah cara terbaik untuk melanjutkan tradisi kuliner kita yang kaya. Sebagai penghormatan kepada nenek, ibu dan ayah-ayah kita yang juga jago masak dalam setiap kenduri, pesta ada dan lain sebagainya.”

Rahung enggan disebut sebagai koki atau bahasa kerennya chef, karena memang ia juga tidak pernah sekolah kuliner atau menjadi komandan di dapur restoran. Ia memasak karena senang dan ingin berbagi dengan orang banyak. Ia juga memberikan bocoran dua nama juru masak idolanya, ada Jamie Oliver dan Anthony Bourdain. Jamie Oliver ini menurutnya, selain menjawab persoalan dapur ia juga mengajak masyarakat luas untuk mengkritisi industri makanan, benih rekayasa genetika dan obat-obatan yang menyebabkan berbagai permasalahan di dunia. Masalah kesehatan, seperti obesitas pada masyarakat Amerika, pencemaran lingkungan dan punahnya varietas benih lokal. Artinya, Jamie Oliver melihat persoalan dapur sebagai persoalan politik yang serius. Selain itu ada juga si bohemian Anthony Bourdain yang juga lewat lidah melihat persoalan dunia.