sdgf

#TamuKita kali ini adalah salah satu tokoh yang seringkali melakukan cuitan metafor di Twitter. Banyak orang yang mengernyitkan dahi ketika membaca cuitannya. Isi cuitannya pun bukan syair nan puitis. Terkadang hanya satu kalimat dan maknanya sangat dalam. Banyak orang mengenal dia, baik di dunia nyata atau dunia maya. Siapa dia?

#TamuKita tersebut adalah Rocky Gerung (@rockygerung). Dia menjadi dosen Filsafat di Universitas Indonesia. Kalau kalian mencarinya di media sosial, dia hanya memiliki akun di Twitter. Facebook, Instagram atau yang lainnya dia tidak singgahi. Alasannya? Dia belum tertarik untuk ber-Facebook ria. Dia lebih menyukai bertatap muka. Ada beberapa yang memakai namanya, tapi itu bukan dia. Rocky Gerung pun tidak mempermasalahkan hal itu.

“Media sosial itu baik. Sebuah sekolah bagi semua. Juga tempat menikmati kesetaraan manusia. Tak ada hirarki. Profesor dan kompresor sama haknya berkicau.  Boleh berkhotbah, boleh mencaci. Berani pamer, siap dicerca. Tak ada akun palsu. Yang ada akun bodoh, karena bersembunyi.” – Rocky Gerung

Media sosial bagi Rocky Gerung adalah sekolah bagi semua orang. Tidak ada batasan-batasan di dalamnya. Sementara itu, dirinya mendapatkan manfaat yang banyak seperti pengetahuan, kritik bisa tersalurkan, dan bisa membaca watak manusia.

Rocky Gerung suka sekali mencuitkan hal-hal berbau metafor. Bagi kalian yang mem-follow pasti sudah tahu. Rocky Gerung sering melakukan itu karena dia cuitan metafor lebih kuat dari cuitan beragumen akademis. Orang-orang jadi bisa berimajinasi. Tidak terbatasi oleh apa pun.

“Metafor lebih kuat dari argumen akademis. Abstraksi melatih manusia menunda reaksi bodoh. Simbolisasi memperluas wilayah imajinasi. Puisi melenturkan kekakuan hidup. Semua itu penting mengimbangi status teknis kita sebagai mesin biologi.” – Rocky Gerung

Tanggapan para followers Rocky Gerung pun beragam. Beberapa orang menanggapi dengan menahan senyum, ada yang meringis dan ada juga yang menahan amarah. Itulah makna cuitan metafor beliau. Para followers-nya bebas untuk berimajinasi. Tidak penting untuk mengetahui apa arti sebenarnya cuitan beliau, berimajinasilah.

Sebagai dosen Filsafat, sudah pasti Rocky Gerung mencuitkan hal-hal berbau filsafat. Tapi ketika dia mencuitkan hal tersebut, dia hanya ingin para followers-nya belajar berpikir filosofis ketimbang belajar filsafat. “Semoga itu membangunkan akal publik yang terlalu lelap oleh mitos dan doktrin,” kata beliau.

Bagaimana pandangan Rocky Gerung terhadap fenomena twitwar dan akun anonim? Twitwar menandakan ada dinamika dalam komunikasi dan itu adalah hal yang baik. Kalau sampai emosi, lebih baik dilupakan saja. Lalu bagaimana dengan akun anonim? “Bagi saya itu bukan anonim tapi apatis, karena menghindari komunikasi. Tapi masalah sebetulnya bukan anonimitasnya, melainkan manfaat publiknya. Sebagai “deep throat”, misalnya, pseudonym, itu strategis,” ujarnya.

Di akhir sesi wawancara kami dengan beliau, kami coba singgung dengan fenomena hadirnya para netizen di media sosial. Jawaban Rocky Gerung sungguh menarik.

“Netizen itu ko-evolusi antara otak sosial dan speed-ism. Kita ingin berpikir dengan cara saksama tentang masalah bersama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Mengkritik netizen? Saya tak punya kritik, karena netizen justru adalah solidaritas para kritikus.” – Rocky Gerung

Begitulah sosok #TamuKita kali ini, Rocky Gerung. Follow-lah akun dia sebagai penyegar linimasa Twitter kalian. Apalagi jika kalian pecinta twit-twit metafor nan filosofis. Rocky Gerung adalah orang yang tepat.

Published by Sugianto

Dapat ditemui di akun @sugisigu