kebebasan-berekspresi

{PoliTwika.Com} Akhir pekan kemarin linimassa Twitter Indonesia diramaikan dengan kehebohan netizen seputar kicauan penyanyi Sherina. Melalui akun @Sherinasinna yang ber-follower 9,5 juta itu, Sherina mengucapkan selamat atas dilegalkannya pernikahan sejenis di Amerika Serikat.

“Banzai! Same sex marriage is now legal acriss the US. The dream: next, world! Wherever you are, be proud of who you are. @LGBTRights”

Begitu kicauan Sherina, yang mendapatkan retweet sebanyak 525 kali dan difavoritkan 237 user. Namun, gegara twit itu juga Sherina mendapat kritikan pedas dari netizen Indonesia. Mulai dari yang mengkritik secara sopan dan membangun, hingga cercaan, caci maki, tuduhan bahwa Sherina bagian dari LGBT (Lesbian, Gay, Biseks, Transgender) . Tidak sedikit pula yang mengaitkan twit tersebut dengan nama ayah Sherina, bahkan anggota keluarga lain, juga sikap politiknya.

Dari kejadian ini, jelas sudah bahwa kebebasan berekspresi di media sosial, khususnya Indonesia, masih harus mempertimbangkan banyak hal. Sherina bisa saja mencari aman, tidak beopini apapun tentang legalisasi pernikahan sejenis. Diam seribu basa. Tapi dia tidak melakukan itu. Sherina memilih mengekspresikan opininya di Twitter, dengan risiko diserang oleh pihak yang menentang LGBT.

Banyak yang mengangap Sherina tak pantas mengekspresikan opininya seputar LGBT, karena dia public figure yang memiliki follower 9,5 juta. Twitnya dianggap bisa berimbas pada pola pikir para follower-nya yang sebagian besar anak muda. Kritikan ini datang dari pihak yang menentang ideologi, yang memandang bahwa LGBT bertentangan dengan agama-agama tertentu. Semestinya sebagai selebriti yang cerdas Sherina paham bahwa sikap pro LGBT masih ditentang oleh kalangan tertentu. Atau dia memang sengaja ?

Terlepas dari apakah Sherina sengaja mencari kontroversi dengan twit itu, ada pelajaran yang bisa kita petik. Melontarkan opini di media sosial memang bukan perkara mudah. Ada idiom, “Think before posting”, di mana kita sebaiknya memikirkan dulu apa kira-kira imbas dari postingan kita. Pastinya Sherina bukan pengguna media sosial kemarin sore, dan paham betul atas risiko yang akan diterima dari twitnya.

Mohammed Morsi, mantan presiden Mesir, pernah berkomentar soal kebebasan berekspresi, “Freedom of expression comes with responsibilities, especially when it comes with serious implications for peace.”

Berpikir sebelum memosting sesuatu di media sosial atau aplikasi apapun di internet merupakan salah satu bentuk tanggungjawab kita. Kemarin, Sherina menjadi bulan-bulanan di Twitter, diserang oleh pihak yang tidak menyukai opininya. Besok, lusa, atau entah kapan, bisa saja kita yang ada di posisinya. Siapkah kita bertanggungjawab atas apa yang kita ekspresikan di media sosial? Jika ya, ekspresikan itu. Jika tidak, sebaiknya jangan. Tanggungjawab dalam hal ini bukan sekadar tanggungawab secara hukum, tapi juga sosial. Mendapat serangan di Twitter, di-bully habis-habisan, dikritik, dicerca, dituduh macam-macam, merupakan bentuk risiko dari kebebasan bereskpersi. Sepertinya Sherina sudah paham itu, dan dia memilih bertanggungjawab dengan cara diam, tidak meladeni semua serangan. Apakah dia mengalami stres atau bahkan depresi karena membaca semua seringan di tab mention-nya, hanya dirinya yang tahu.

Apakah kita mampu bersikap seperti itu?

Published by Merry Magdalena

Penulis lebih dari 20 buku non fiksi terbitan Gramedia Group, eks jurnalis, kolumnis, editor, menyukai media sosial, serta segala yang berhubungan dengan seni & budaya. Berkicau di @merrymp. Bio lengkap: https://www.linkedin.com/in/merrymagdalena