Curhat di Media Sosial, Amankah?

curhat“Aduh, gue patah hati. Dasar cewek bahlul semua!”

“Ah, dasar guru killer. Masak cuma ngobrol di kelas sampe dihukum?”

Curhatan macam itu wajar saja dilontarkan sambil lalu, secara lisan. Tapi bagaimana jika sudah dilakukan di media sosial seperti status Facebook, Path, atau Twitter? Ingat kasus Florence Sihombing, yang curhat di Path dan akhirnya sempat dibui pada 2014 silam?

Masih di tahun yang sama, seorang ibu rumah tangga dimejahijaukan karena curhat di status Facebook tentang kondisi kerja suaminya.

Yang lebih klasik, Prita Mulyasari pada 2009 curhat di milis tentang layanan suatu rumah sakit yang dirasanya tak adil. Akibatnya, Prita justru dipenjarakan.

Wah wah, serem juga ya curhat di media sosial, bisa bikin orang dipenjara. Tapi jangan salah, semua kasus-kasus di atas belum bikin pengguna media sosial jera, lho. Masih banyak saja yang curhat di Twitter, Facebook, Path. Ada yang aman-aman saja, tidak mengalami nasib senahas Florence, ada yang sekadar berujung pada pertengkaran kecil di media sosial.

Curhat alias curahan hati sudah jadi kebiasaan sebagian besar pengguna media sosial. Ngga pandang usia lho. Bukan hanya remaja saja yang curhat di media sosial, melainkan juga usia dewasa. Kalau remaja banyak curhat seputar topic percintaan, temen yang ngga asik, atau guru nyebelin. Sementara orang dewasa sering curhat soal macet parah, bos yang galak, layanan yang kurang memuaskan dari instansi pemerintah, pengendara taksi yang berulang, dan sebagainya.

Kita sering tak sadar bahwa curhatan di media sosial bisa berisiko. Sama seperti Florence, kita kerap khilaf memaki, menyebut nama tertentu pihak yang kita benci, atau bahkan langsung menyerangnya. Wow, sebenarnya semua itu tindakan yang berisiko. Bisa saja pihak yang kita maki atau serang tidak terima, lalu melakukan tuntutan hukum.

Kok bisa begitu? Ya, sebab curhat di media sosial itu dampaknya lebih parah ketimbang curhat secara lisan. Begini, media sosial itu bisa digolongkan sebagai ranah publik, di mana siapa saja bisa membaca curhatan kita. Kalau sedang apes, yang baca adalah orang yang tidak suka dengan curhatan kita, lalu membuatnya menjadi masalah. Masih bagus kalau dia menerima penjelasan kita, bagaimana kalau tidak? Bagaimana jika dimejahijaukan?

Perlu diingat pula, curhatan di media sosial bisa abadi di internet, selama kita tak menghapusnya. Bahkan setelah dihapus pun, bisa terus terbaca kalau ada pihak yang memposting ulang atau menggandakan. Cukup googling dengan kata kunci tertentu, muncullah curhatan itu. Akan jadi masalah di kemudian hari apabila di masa mendatang ada orang yang mengungkit curhatan kita di masa silam. Terbayang kan, waktu seseorang maju sebagai caleg, tahu-tahu ada yang mengungkit curhatannya di Twitter yang mengandung makian dan kata-kata kotor?

Nah, itu tadi beberapa risiko yang bisa muncul akibat curhat di media sosial. Jadi, sebelum curhat memang sebaiknya dipikir dulu. Ingat selalu advis simple “Think before posting”. Lalu, bagaimana agar curhatan di media sosial bisa aman? Sabar, akan ada tipsnya di artikel berikutnya.

Sumber gambar: http://batamindependent.com

Published by Merry Magdalena

Penulis lebih dari 20 buku non fiksi terbitan Gramedia Group, eks jurnalis, kolumnis, editor, menyukai media sosial, serta segala yang berhubungan dengan seni & budaya. Berkicau di @merrymp. Bio lengkap: https://www.linkedin.com/in/merrymagdalena