Namanya dikenal di komunitas teknologi informasi sejak lama. Namun Sumantri Suwarno juga populer sebagai seorang aktivis bidang keagamaan. Tak heran jika pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, ini cukup piawai sebagai pemerhati dua dunia itu. Bagaimana pandangan Mas Mantris atas fenomena media sosial saat ini? Ikuti obrolan Politwika dengan alumni FE UI ini yuk.

Apa kabar mas, boleh tahu aktivitas mas saat ini? Sedang sibuk
menggarap proyek apakah?

Baik Alhamdulillah Mbak. Saat ini saya sibuk menyelesaikan transaksi (tepatnya membantu) pendanaan akuisisi saham Blok Migas oleh sebuah BUMD. Selepas menjadi caleg (yang gagal) saya memang banyak berkecimpung di dunia investasi migas, bersama salah satu perusahaan investasi lokal. 

Setiap tahun, sepertinya isu “menghormati orang berpuasa” jadi
isu rutin di media sosial terutama Twitter ya mas. Selalu ada yang
twitwar atau debat tentang apa layak buka warung saat bulan puasa. Kok sepertinya netizen kita tidak bisa move on ya? Padahal di dunia nyata, tidak ada perdebatan seperti itu. Semua normal-normal saja. Menurut mas, kenapa bisa begitu?

Di kehidupan nyata untuk bisa bersuara memerlukan upaya dan melewati beberapa saringan sosial yang tak sederhana. Kita perlu melakukan sosialisasi, dikenal, dan juga dianggap kompeten serta berani agar bisa berpendapat dan diterima. Proses ini tak terlalu diperlukan di dunia maya. Seseorang yang pemalu  dalam dunia nyata, penyendiri, dan juga yang ekstrim — gagal diterima komunitas — hampir tak punya hambatan untuk bisa eksis di dunia maya. 

 Faktor kemudahan secara teknis dan psikologis ini yang membuat dunia maya begitu riuh rendah. Termasuk perdebatan-perdebatan tematik seperti Bulan Puasa, Valentine, Natalan dan lain-lain. Dan karena tingkat penetrasi Twitter di kita masih rendah, maka keriuhan ini masih akan bertahan hingga 3-5 tahun ke depan hingga mulai muncul kebosanan dari publik dan mencari medium komunikasi lain.
Isu agama juga selalu santer di media sosial. Seperti saat mau
Natal, ada aja yang meributkan apa umat Islam boleh mengucapkan
selamat Natal. Menurut mas Mantris, apakah isu-isu agama di media sosial jauh lebih sensitif ketimbang di
dunia nyata?

Isu agama selalu menarik, karena dia menyangkut capaian tertinggi buat sebagian besar orang (Indonesia). Ini tentang nilai yang diterima  dari lahir dan diyakini akan mengamankan serta memberi kebahagiaan saat meninggal. Tentu semua orang ingin meyakinkan diri, pertaruhannya sepanjang hidup ini benar. Sehingga banyak yang terganggu ketika pertaruhan terbesarnya disalahkan. Jadi sensitivitas agama itu sama saja baik di dunia nyata maupun maya. Hanya lagi-lagi, di dunia maya anak yang baru selesai kursus Iqra saja bisa langsung berdebat dengan Kyai yang bertahun-tahun belajar berbagai kitab, sehingga keributan bisa muncul  dari hal-hal kecil.

Kenapa yang ramai yang cenderung menyangkut umat Islam, ya karena dia mayoritas sehingga yang terlibatl dalam perdebatan secara probabilitas lebih besar. Belum lagi faktor psikologis, di mana orang-orang yang minoritas cenderung menerima jika pun ada satu dua situasi yang tidak fair.

Di media sosial, muncul kesan bahwa umat Islam terbelah menjadi “JIL” dan “ANTI JIL”. Selalu ada twitwar di antara mereka, atau
sekadar nyinyir. Menurut mas Mantris, sebenarnya sejak kapan fenomena ini berlangsung? Dan apa penyebabnya?

Pertama tentu faktornya karena buat sebagian besar kita, agama diterima secara dogmatis dan merupakan pertaruhan terbesar dalam hidup. Kedua, mulai muncul pemikir-pemikir Muslim muda yang berkesempatan mencicipi pendidikan luar negeri dan mulai melemparkan wacana yang melawan dogmatisme agama. Ketiga, tentu karena massifnya teknologi internet yang menjadi ruang-ruang pertempuran dua pihak ini, 

Kedua pemikiran ini akhirnya bertemu dalam ruang-ruang publik, media cetak, TV, dan tentu saja semakin massif sejak ada FB dan Twitter. Karena frekuensi yang tinggi akhirnya muncul identifikasi kelompok  sebagai JIL dan ANTI JIL

Mas sendiri sejak kapan bergabung dengan GP Ansor? Dan kenapa
tertarik untuk bergabung dengan organisasi itu?

Saya awalnya bergabung dengan PMII (ini gerakan mahasiswa yang berafiliasi ke NU) pada tahun 1997 akhir. Saya yang latar belakangnya dari keluarga abangan – sangat tertarik dengan pikiran-pikiran Gus Dur dan wawasan kebangsaan dan kemanusiaan komunitas NU. Sejak itu saya terus bergaul dengan teman-teman NU, terutama yang  kuliah di UI. Ini cukup istimewa karena anak-anak NU yang di UI termasuk generasi muda NU pilihan. Setelah lulus karena salah satu teman di PMII UI yaitu Nusron Wahid menjadi Ketum Ansor saya diajak masuk, dan berlanjut hingga sekarang dengan Ketum Yaqut Qoumas yang juga teman di PMII UI.

Apakah media sosial juga sangat membantu aktivitas di organisasi
kepemudaan Islam seperti GP Ansor? Bisa tolong sebutkan contohnya?

Kami baru saja mengadakan pembahasan khusus mengenai fenomena medsos ini. Karena statistik menunjukkan peningkatan pengguna di kalangan muda (yang menjadi target pasar Ansor), maka mau tidak mau Ansor harus masuk dan memanfaatkan medsos. Kami mulai mendorong teman-teman main Twitter, FB, hingga membuat channel Youtube. Termasuk kami baru saja meluncurkan aplikasi berbasis Android yaitu Ansor Apps (ada di Google Play).

Alhamdulillah sambutannya lumayan baik, dan kami targetkan dalam 1-2 tahun ke depan kehadiran Ansor akan sama massifnya di online maupun offline.

Di GP Ansor sendiri apa ada divisi khusus bidang media sosial?

Ada Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi dan Bidang Kajian Strategis. Kedua bidang ini yang berkolaborasi menyiapkan substansi dan saluran Medsos yang digunakan.

Menurut mas, bagaimana media sosial bisa dimanfaatkan secara
positif dalam bidang dakwah keagamaan atau kampanye aktivitas
keagamaan? Terutama yang mendorong ke arah persatuan umat, bukan
perpecahan.

Tentu  dengan mendorong munculnya konten-konten yang menganjurkan perdamaian menjadi arus dan pemain utama, Ini memerlukan kerja sama dari pemasok konten (seperti Ansor, Gusdurian, Muhammadiyah) untuk tak lelah menyiarkan pemikiran-pemikiran moderatnya dan tentu para pengguna medsos untuk menyebarluaskan.

 Karena internet menawarkan kebebasan, masing-masing kita sebagai penggunalah yang harus aktif ikut menyeleksi  agar konten-konten yang baik yang menjadi arus utama.
Menurut mas, saat ini tokoh agama siapa saja yang cukup optimal
memanfaatkan media sosial? 

Ustadz Yusuf Mansur, Gus Mus, Menteri Agama, hingga Mas Ulil adalah beberapa tokoh yang secara efektif mampu memanfaatkan medsos untuk menyebarkan gagasan-gagasan keagamaan mereka.

Ada pesan dari mas agar umat Islam tidak mudah terprovokasi
oleh pesan-pesan di media sosial yang sering kali memecahbelah?

Jangan pesan ya, tapi saya cerita pengalaman sendiri saja. Saya percaya agama diturunkan dan diajarkan demi kebaikan umat manusia – semua yang mengajarkan sebaliknya saya tak tertarik mengikuti. 

 Kedua,  yang terkait pemahaman kitab, hadist dan lain-lain, karena merasa tak cukup belajarnya saya memilih untuk bertanya kepada orang yang saya anggap mengerti. Ini untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang elementer.
Apa pengalaman paling seru di media sosial yang pernah mas alami?
Pernah ditantangin berantem mungkin? Hehehe.

Jarang ribut-ribut. Level twitwar mungkin hanya beberapa kali, terutama untuk isu-isu yang saya merasa menguasai betul baik karena mempelajari teorinya atau berinteraksi dengan masalah tersebut dalam kehidupan nyata.

 Saya lebih banyak belajar di Twitter, karena ini menyalurkan hobi saya bertemu dengan sebanyak mungkin orang di dunia nyata. Setiap orang itu unik dan orisinal, dan rata-rata punya gagasan yang berguna buat saya.

 

 

Published by Merry Magdalena

Penulis lebih dari 20 buku non fiksi terbitan Gramedia Group, eks jurnalis, kolumnis, editor, menyukai media sosial, serta segala yang berhubungan dengan seni & budaya. Berkicau di @merrymp. Bio lengkap: https://www.linkedin.com/in/merrymagdalena